Minggu, 17 November 2013

SISTEM KEHIDUPAN UNIVERSAL

SISTEM KEHIDUPAN UNIVERSAL

Hamemangun karyenak tyasing sesami 
(Membangun negeri yang sentosa lahir-bathin, negeri kenyamanan bagi nurani manusia dan sesamanya yakni sesama makhluk Tuhan YME)

Pengabdian kepada Tuhan Semesta Alam (TSA) adalah satu-satunya perbuatan yang terpuji. Tidaklah pantas dan juga tidak ada hak suatu makhluk mengatur makhluk lainnya, tidak ada hak manusia mengatur manusia lainnya, karena yang demikian itulah esensi perbudakan, merampas hak asasi manusia (hak dasar yang fitrah) anugerah TUHAN YME. Haram hukumnya manusia memakai aturan selain aturan TUHAN YME. TUHAN YME-lah yang mempunyai hak objektif ilmiah mengatur seluruh makhluknya di seluruh alam semesta kerajaan-Nya. Dialah satu-satunya Sang Subjek kehidupan. Itulah keyakinan, kepercayaan, aqidah, iman seorang manusia sejati sampai titik darah penghabisan.
“Janganlah kamu mati melainkan kamu dalam keadaan yang tunduk patuh (kepada Tuhan Semesta Alam)”

Seluruh zat di seluruh alam semesta ini, baik mikroorganisme maupun makroorganisme, semua sedang beraktivitas melaksanakan aturan TUHAN YME yang diundangkan atas dirinya, dan mereka patuh secara sukarela maupun terpaksa.
Manusia sebagai salah satu zat makroorganisme yang hidup di bumi yang mutakhir, juga mempunyai tugas-tugas khusus dari TUHAN , yaitu menjadi berkat seluruh alam dengan menjaga kelestarian/kemakmuran bumi sebagai “surga”nya TUHAN
Tugas semacam itu hanya bisa dilaksanakan manakala umat manusia terorganisir dalam suatu komunitas yang memiliki satu struktur kepemimpinan yang tersusun rapi bagaikan satu bangunan yang kokoh.
 
Dalam sejarahnya, bertolak dari generasi Adam, umat manusia selalu terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok orang-orang yang berjuang menegakkan Kekuasaan TSA dan kelompok yang kedua adalah orang-orang yang berjuang menegakkan sistem kekuasaan atas dasar kemauan manusia melalui berbagai bentuk sistem, dari monarki, diktator, dan sistem modern yang disebut demokrasi. Dari abad ke abad kedua sistem ini silih berganti menguasai dunia.
Kelengahan umat manusia hari ini adalah kebutaannya di dalam “membaca” kondisi kehidupan dunia, baik skala nasional, regional, maupun internasional. Ibarat orang buta, wajar jika tidak dapat membedakan gelap dan terang. 

Masalah penting yang harus diperhatikan dalam suatu sistem kehidupan adalah manusia harus menjalani hidup di atas garis fitrahnya dan terus meningkatkan kualitas dirinya tahap demi tahap menuju tujuan akhir yaitu sebagai makhluk yang menjadi berkat bagi seluruh alam. Berbagai aspek peraturan hukum yang diberlakukan, baik berupa perintah maupun larangan, bukan untuk membatasi kebebasan manusia, tetapi justru untuk menjaga agar manusia jangan sampai keluar atau menyimpang dari garis fitrahnya. Penyimpangan terhadap fitrah itu akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia, yaitu satu perilaku atau adab yang mematikan nilai perikemanusiaan yang sejati.

Penyimpangan garis fitrah itu membawa umat manusia menjadi satu model kehidupan free fight liberalism, kebebasan berkompetisi yang berlandaskan hukum rimba, yang kuat di atas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, yang berkuasa menindas yang lemah. Model kehidupan yang seperti itu bukan fitrahnya manusia, bahkan alam materi, nabati, dan hewani sekalipun tidak menggunakan pola kehidupan yang demikian. Pantaslah jika TUHAN YME mengidentifikasikan kehidupan free fight liberalism itu sebagai satu model kehidupan yang nilainya di bawah derajat makhluk yang paling rendah. Prinsip tersebut perlu disadari benar oleh manusia. 

Salah satu sifat dasar manusia adalah keinginannya untuk menguasai orang lain, atau nafsu berkuasa. Kekuasaan dalam segala aspek kehidupan adalah alat untuk memiliki. Nah, dalam rangka memiliki itulah manusia membuat peraturan-peraturan hukum. Hukum adalah alat yang paling efektif untuk melindungi kepentingan. Jika sebuah orde kekuasaan membuat aturan hukum, esensinya untuk memuaskan keinginan atau nafsu syahwatnya atau kelompoknya.

Berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia, bahwa hukum TUHAN YME pada esensinya bukan untuk mengekang atau menekan kebebasan manusia. Manusia memang diberikan kebebasan mendiami dan tinggal di bumi milik TUHAN YME ini, namun tidak berarti bebas tanpa batas. Keberadaan manusia di bumi ini ibarat orang yang tinggal dalam suatu Negara. Dia diijinkan hidup di negara tersebut selama dia mematuhi undang-undang yang berkuasa. Jika orang tersebut melakukan pelanggaran, maka dia berhak atau pantas untuk diberi peringatan atau dihukum. Analogi ini tidak bisa dibantah, logis dan berlaku di semua daerah kekuasaan di dunia ini.

Kita bisa melihat pelajarannya di alam semesta dimana mereka semua berhukum kepada TSA. Hukum yang diciptakan oleh TSA di alam semesta adalah untuk menjaga alam semesta dalam keadaan setimbang, sehingga kita bisa melihat alam semesta kita sangatlah teratur. Miliaran bintang dan galaksi bergerak dalam orbit mereka masing-masing dengan serasi. Galaksi terdiri dari hampir 300 miliar bintang yang saling berpindah sesamanya dan, yang mengagumkan, selama perpindahan dahsyat ini tidak terjadi satu pun tabrakan. Keteraturan tersebut menyebabkan tabrakan tidak terjadi. Lebih hebat lagi, kecepatan benda-benda di alam semesta berada di luar batas imajinasi manusia. Dimensi fisik luar angkasa sangatlah besar jika dibandingkan dengan pengukuran yang digunakan di bumi. Bintang-bintang dan planet-planet, dengan massa miliaran atau triliunan ton, dan galaksi, dengan ukuran yang hanya dapat dipahami dengan bantuan rumus-rumus matematika, seluruhnya berputar dalam jalurnya masing-masing di ruang angkasa dengan kecepatan yang luar biasa.

Terdapat kesetimbangan yang luar biasa dalam seluruh gerakan dinamis ini dan hal tersebut mengungkapkan bahwa kehidupan di alam semesta berlandaskan pada keseimbangan yang sangat cermat. Pergeseran yang sangat sedikit pun pada orbit benda-benda langit, bahkan hanya beberapa milimeter, dapat membawa akibat yang sangat serius. Beberapa di antaranya dapat sangat mengganggu sehingga kehidupan di bumi tidak mungkin terjadi.

Tuntutan yang paling utama dalam suatu sistem kehidupan adalah agar manusia menyadari dan mengakui bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah milik TSA, maka pasti Dia yang berkuasa di alam semesta ini, dan Dia yang berhak mengatur seluruh aspek kehidupan (ipoleksosbudhankam) bagi seluruh umat manusia. Tidak ada pengabdian dan ketundukpatuhan manusia selain kepada-Nya, yakni kepada Tuan Semesta Alam.

Sistem kehidupan universal yang berdasarkan ketundukpatuhan kepada TSA inilah yang seharusnya dipahami dan dijalankan oleh umat manusia di bumi ini. Karena di dalam sistem ini segala aspek kehidupan berjalan selalu berdasarkan ilmu-Nya, seperti sifat TSA yang selalu menciptakan segala sesuatu dengan ilmu-Nya. Yaitu ketentuan-ketentuan yang bersifat eksak atau pasti.

Dari aksioma di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa sistem kehidupan dapat dimengerti oleh manusia karena ilmu, manusia harus memahami tentang dasar-dasar sistem kehidupan atau kekuasaan. Agar lebih mudah dipahami, TUHAN YME menyederhanakannya dalam bentuk amsal atau contoh konkrit, yaitu diibaratkan sebuah pohon yang memiliki akar, batang, dan buah.

A.    Akar adalah akidah seseorang atau bangsa.

Akidah merupakan suatu keyakinan yang mantap/bulat, yang telah menjadi ideologinya. Keyakinan terhadap satu-satunya sistem kehidupan ciptaan Tuhan semesta Alam. Tidak  ada atau tidak boleh meyakini kebenaran terhadap sistem apapun selain dari pada sistem Tuhan Semesta alam. Keyakinan tersebut tidak hanya sebatas keyakinan di dalam “hati”, melainkan sebuah keyakinan yang harus dibuktikan dengan ikrar sumpah setia perjanjian kepada Tuhan Semesta Alam. Itulah akidah para ksatria suci.

B.    Batang adalah pengabdian seseorang atau bangsa.

Pengabdian adalah segala bentuk ketaatan/aktivitas yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan restu dari Tuhan Semesta Alam. Restu Tuhan Semesta Alam adalah agar supaya hukum-Nya berlaku dalam kehidupan umat manusia. Antara akar dan batang saling melengkapi, tidak ada artinya akar tanpa batang begitu juga batang tanpa akar. Jika akarnya akar kelapa, maka batangnya pun batang kelapa. Jika bangsa menyatakan yakin kepada TSA tetapi pengabdiannya bukan untuk memenangkan sitem/hukum TSA, maka bangsa itu bernilai bathil. Dan itulah pohon palsu.

C.    Buah adalah budi pekerti seseorang dan bangsa

Batang beserta ranting dan daun adalah proses untuk menghasilkan buah, jika akar makin kokoh maka makin tinggi dan subur batang dan rantingnya, serta buah yang dihasilkan pun juga semakin berkualitas. Jika akarnya adalah sebuah keyakinan/ideologi terhadap Tuhan Semesta Alam, dan ibadahnya adalah memenangkan ideologi itu sendiri dengan sebuah pergerakan yang nyata, bukan hanya ritus-ritus yang tiada guna seperti yang dilakukan oleh kaum agamis, maka hasilnya adalah buah kemenangan yakni sebuah kehidupan sosial masyarakat yang damai dan sejahtera dengan tatanan peradaban akhlaq/budi pekerti yang agung dan luhur. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang direstui dan diberkati oleh Tuhan Semesta Alam.

Perumpamaan yang digambarkan oleh Tuhan Semesta alam dalam bentuk sebuah pohon, yang terdiri atas 3 unsur, yakni akar, batang, dan buah, bila difahami secara mendalam bahwa itulah gambaran sebuah sistem kehidupan. Suatu sistem yang terdiri dari hukum, kekuasaan, dan ketaatan rakyat pada hukum itu sendiri.
Jadi, secara mendasar ada tiga unsur yang menjadi syarat terbentuknya suatu sistem kehidupan universal di muka bumi sepanjang sejarah, baik sistem kekuasaan TSA maupun sistem kekuasaan berdasarkan kemauan manusia, yaitu adanya hukum , kekuasaan, dan ketaatan umat/rakyat. Mari kita urai satu per satu....

1.    HUKUM

 
Kedudukan hukum dalam sebuah sistem kehidupan adalah ibarat akar dari sebuah pohon. Akar yang baik adalah akar yang menghunjam ke dalam bumi, sehingga betapapun kuatnya angin menghempas batang, pohon akan tetap berdiri di atas pangkalnya. Sebaliknya akar yang mencuat di atas permukaan tanah, tidak akan mampu menahan batang yang ditiup angin, bahkan tidak ada anginpun pohon akan tumbang dengan sendirinya. Dapat dikatakan hukum yang baik adalah hukum yang menghunjam tanah, hukum yang mengikat seluruh lapisan masyarakat, hukum yang adil dan tegas, hukum yang tidak pandang bulu, jika melanggar dan terbukti bersalah harus diberi sanksi atau hukuman, siapapun itu. Bukan hukum yang memihak kepentingan seseorang atau sekelompok orang saja, bukan hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Dan juga bukan hukum yang dibuat untuk kepentingan si pembuat hukum itu sendiri. Jika hukum tersebut bisa diaplikasikan, baik pada pribadi manusia maupun umat manusia, maka sistem tersebut akan kuat dan tidak mudah ditumbangkan oleh sistem manapun yang menentangnya. Untuk contoh menegenai ketegasan dalam sebuah hukum, lihat sejarah kerajaan kalinggapura yang dipimpin oleh Sang Ratu Dewi Shema.

“Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkunganb Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang. Tak puas dengan sikap “setia” lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu Shima,”Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya tanpa ampun!”. Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia. Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal. Saat itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar, matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan. “Maaf Tuanku Yang Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf,” sujud sang tukang istal muda belia, mukanya seperti terbenam di lantai istana. “Apa, Putra Mahkota mencuri?!” Ratu Shima terperanjat bukan kepalang. Mukanya merah padam.. “Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu, benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?”, tanya sang ibu menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk, lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang membesarkannya dari kecil. Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun jati emas yang jatuh luruh ke tanah.”Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra Mahkotaku, sekaramg juga,” perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras. Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini. “
Dulu, pada pemerintahannya Ratu Shima (674 M), Jawa sebagai negara hukum, Jawa pada masa itu telah menerapkan 3 unsur pokok negara hukum yaitu Supremacy Of Law, Equality Before The Law dan Human Rights.

Supremacy Of Law berarti dalam suatu negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat. Ini ditunjukkan dengan raja tunduk terhadap hukum dengan tetap menghukum siapapun yang melanggar peraturan.

Equality Before The Law berarti dalam negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backing terhadap yang benar. Ini ditunjukkan dengan hukum tetap dilaksanakan Raja Jawa terhadap putra mahkotanya sendiri.

Human Rights diantaranya berarti The rights to freedom of discussion (kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain. Ini ditunjukkan dengan diskusi antara Raja Jawa dengan para pembesarnya dalam mengemukakan pendapat dan pandangannya tanpa dihantui ketakutan akan dipidanakan. Dari hal tersebut, dapat dikatakan bila Jawa pada tahun 674 M telah merupakan negara hukum utama di dunia.

2.    KEKUASAAN

 
Tapi bagaimana suatu hukum dapat ditegakkan jika tidak ada suatu kekuasaan hukum?. Antara hukum dan kekuasaan hukum tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan mutlak dibutuhkan untuk memberlakukan hukum itu sendiri. Kekuasaan adalah sarana agar hukum bisa berlaku dan ditaati oleh seluruh rakyat.

Bahwasanya TSA adalah Pemilik seluruh makhluk, Penguasanya dan Yang mengurusi segala urusannya. Jadi Dia-lah penguasa kita sebenarnya. Penguasa/Tuan kita yang asli bukan para politisi atau para kaisar yang menuhankan dirinya dengan membuat syariat-syariat yang bertentangan dengan syariat-Nya itu. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, dan yang ada di antara keduanya. Kekuasaan  dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya milik Tuhan Semesta Alam, tidak mungkin akan menjadi hak siapa pun selain Dia dan tidak ada seorang pun yang memiliki suatu bagian daripadanya.

Dulu Raja-Raja tanah jawa waktu itu, mereka adalah wakil dari pada Tuhan Semesta Alam untuk melaksanakan/memberlakukan hukum-hukum-Nya di bumi Nuswantara. Mereka tidak berkendak atas nama diri mereka sendiri, mereka berkehendak atas nama Tuhan Semesta Alam. Kekuasannya menurut pandangan mereka adalah kekuasaan Tuhan Semesta Alam. Mereka tidak merasa memiliki sedikitpun atas kekuasaan yang  dudukinya. Inilah sifat, karakter, dan akhlaq para ksatria suci bangsa nuswantara kita.

Berbeda dengan para raja, kaisar, dan politisi negeri sekarang. Mereka adalah para perampok hak milik Tuhan Semesta Alam. Tanpa ijin-Nya mereka berkuasa atas nama diri mereka sendiri. Mereka memberlakukan hukum atas hasil pemikiran mereka dan kesepakatan diantara mereka sendiri, tanpa merujuk hukum Tuhan Semesta Alam. Itulah kekuasaan yang Lalim, kekuasaan tandingan bagi Tuhan Semeta Alam. Dengan kekuasaan yang dijalankan tersebut yang hanya bertujuan untuk kepentingan harta dan tahta, maka dijamin tidak akan mampu mewujudkan tata kehidupan manusia yang adil, damai, dan sejahtera. Justru sebaliknya bahwa kekuasaan tersebut akan menjermuskan rakyatnya kepada jurang penderitaaan dan kesengsaraan.

3.    KETAATAN/KEPATUHAN RAKYAT

 
Kekuasaan hukum adalah cara/proses untuk menghasilkan ketaatan/ketundukpatuhan umat/rakyat kepada hukum TSA.
Jika hukumnya adil dan tegas, makin baik pula kekuasaan hukum dalam mengayomi , maka rakyat akan semakin taat dan tunduk patuh kepada hukum dan kekuasaan itu sendiri. 

Tidak ada gunanya hukum dan kekuasaan jka tidak ditunjang dengan kesadaran dan kepatuhan rakyat. Ini semua tergantung kepada pemimpin dan perangkat penegak hukum pada kekuasaan itu sendiri.
Pempimpin yang baik dan mampu mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera dan mampu menjadikan rakyatnya sadar hukum dn patuh pada hukum, adalah pemimpin yang memilik 9 karakter kepemimpinan, yakni, Jujur, berani, tegas, adil, bijaksana, ber-integritas, cakap, cerdas, dan sehat.

Demikianlah penjelasan mengenai unsur pembentuk sistem kehidupan universal. Akan tetapi Unsur-unsur sistem kehidupan yang telah disebutkan di atas masih sebatas teoritis konseptual. Masalah yang timbul ketika berbicara sistem kehidupan secara operasional adalah di mana hukum itu akan diaplikasikan? Ibarat membicarakan sebuah pohon, selama pohon tersebut hanya sekedar untuk dibicarakan atau didiskusikan, masalah lahan nampaknya tidak diperlukan, akan tetapi manakala orang ingin melihat pohon yang ramai dibicarakan karena buahnya yang begitu menawan, timbullah masalah baru, yaitu di mana pohon itu akan di tanam?
Inilah yang diibaratkan tanah, yaitu sebuah wilayah untuk mengaplikasikan ketiga unsur sistem kehidupan di atas, yaitu hukum, kekuasaan hukum, dan ketaatan rakyat pada hukum.  Jadi sebuah teritorial mutlak diperlukan di dalam mengaplikasikan suatu sistem kehidupan. Inilah yang melandasi orang-orang terdahulu yang pernah memperjuangkan hukum TSA berpindah tempat menuju satu wilayah yang vakum kekuasaan sebagai cikal bakal membentuk satu kehidupan yang damai sejahtera.

Makin jelaslah bagi kita,  jika akar/hukum sudah tidak lagi menghunjam tanah, sudah busuk, maka batang/kekuasaan pun akan menjadi rapuh tidak ada kekuatan. Dan yang dihasilkan juga bukan buah/ketaatan rakyat/kehidupan manusia yang baik damai sejahtera tetapi kehidupan manusia yang semakin mendekati predikat neraka jahanam, kehidupan yang chaos, tidak ada kesejahteraan sama sekali, baik di skala regional, nasional, maupun internasional.

Tugas kitalah sebagai manusia yang berpikir, yang sudah diberi petunjuk oleh TSA untuk menjadi kepanjangan tangan-Nya untuk mengembalikan manusia kepada garis fitrah penciptaan dirinya yaitu sebagai hamba TSA, sungguh-sungguh untuk melepaskan manusia dari perbudakan penguasa-penguasa dunia yang mendirikan arogansi kekuasaan yang diberi nama Negara atau state.

Tugas seperti ini tentu saja tidak akan bisa dilakukan secara individu, telah dicontohkan oleh sejarah bahwa tidak ada ketundukpatuhan tanpa adanya komunitas. Menghimpun kekuatan dalam komunitas adalah syarat mutlak pengabdian kepada TSA, sesuai firman-Nya “ Orang-orang yang mengabdi kepada-Ku itu satu sama lain saling melindungi, jika kalian tidak melakukan hal itu, niscaya kondisi umat akan rapuh dan terjadi kerusakan yang amat besar”.

PANCASILA

PANCASILA

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kepribadian dan jati diri yang kokoh berlandaskan semangat kemandirian, kekuatan bersama, dan berwawaskan nusantara. Bangsa Nusantara memiliki karakter asli atau jati diri sendiri. Bangsa Nusantara memiliki falsafah hidup yang sangat mengagumkan. Tidak ada bangsa-bangsa di dunia yang memiliki falsafah hidup sehebat bangsa Nusantara. 
Namun sekarang, terjadi degradasi dan dekadensi karakter bangsa Nusantara, atas pengaruh budaya asing yang masuk ke nusantara, gelombang besar globalisasi dan arus modernisasi yang menerpa budaya luhur bangsa nusantara ini, yang mengakibatkan mengelupasnya jati diri bangsa nusantara.
Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk dan cara, hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal, bahkan justru semakin terpuruk keadaannya. Hal itu tecermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai tempat di seluruh pelosok negeri, terjadinya ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan pornografi yang terjadi di kalangan dewasa, remaja, bahkan anak-anak, kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang merajalela dan merambah pada semua sector kehidupan masyarakat.

Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dan menjunjung tinggi keber-adab-an, melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong, mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan, bertindak anarkis, penuturan bahasa yang buruk dan tidak santun, serta berperilaku biadab. Semua itu menegaskan bahwa terjadi ketidakpastian jatidiri dan karakter bangsa yang bermuara pada disorientasi dan memudarnya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideology bangsa serta memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Seiring berjalannya waktu, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu. Tidak sedikit dari anak-anak negeri ini yang tidak dapat melafazkan Pancasila dengan benar, apalagi untuk mengatualisasikannya. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan.

Kalau bangsa ini mau bangkit kembali dari keterpurukan dan keterkutukannya, maka solusinya hanya satu yakni kembali kepada pancasila sebagai satu-satunya warisan leluhur bangsa nusantara ini. Namun tidak sembarangan orang mampu menghidupkan kembali pancasila sebagai karakter bangsa. Ada 3 langkah yang harus dilakukan untuk me-revitalisasi dan mengembalikan pancasila sebagai karakter asli bangsa nusantara:
  1. Re-interpretasi (ditafsirkan kembali, difahami kembali nilai atau esensi tiap sila dalam pancasila)
  2. Re-internalisasi (ditanamkan kembali ke dalam pusat kesadaran tiap individu pada bangsa ini, agar menjadi ruh atau karakter pada tiap invidu bangsa ini)
  3. Re-aktualisasi (dilaksanakan agar menjadi prilaku hidup tiap individu bangsa ini)


Ketuhanan Yang Maha Esa

Makna Tuhan itu setara dengan Tuan. Tuhan yang telah menciptakan semua makhluknya itu semestinya menjadi Tuan atas semua makhluk tersebut. Dan ini memberikan pengertian bahwa tidak ada yang berhak menjadi Tuan melainkan Tuan Semesta Alam. Dan itu adalah kedudukan tunggal yang tidak bisa digantikan oleh Tuan-Tuan yang lain di alam semesta ini.

Tuan mempunyai padanan kata lain yakni pemimpin, dengan demikian Tuan adalah pribadi yang mempunyai hak untuk memimpin atau mengatur dengan satu aturan yang berlaku secara universal, dan itulah yang dinamakan hukum kehidupan universal atau kebenaran hidup universal.

Esa itu tidak sama dengan satu dalam arti jumlah atau bilangan. Karena satu dalam arti jumlah atau bilangan itu adalah materi yang bisa dihitung. Padahal Tuhan bukanlah materi. Karena Tuhanlah pencipta materi itu sendiri.

Esa memiliki definisi yang amat mendalam yakni satu (kesatuan), semua materi yang diciptakan oleh Tuhan itu hidup dalam satu kesatuan sistem. Tidak ada sistem yang menyimpang atau tandingan atau disintegrasi dari sistem hidup universal tersebut. Sebagai bukti bahwa alam semesta hidup dalam satu kesatuan sistem, yakni tidak ada kecacatan atau ketimpangan di dalamnya, mereka hidup dalam kondisi yang setimbang.

Sehingga bicara “Esa” di sini adalah bicara mengenai satu sistem hidup universal. Sehingga ketika banyak sistem hidup yang ada di alam kehidupan manusia, maka sejatinya melanggar prinsip Esa itu sendiri.

Ketuhanan yang maha Esa, berarti tidak boleh ada 2 (dua) Tuan yang berlaku untuk mengatur dan memimpin. Ketika ada 2 Tuan, pastilah akan terjadi kekacauan besar dalam hidup dan kehidupan. Karena tidaklah mungkin manusia akan taat kepada dua-duanya, pastilah dia akan memilih salah satu diantara keduanya. Bayangkan kalau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat banyak Tuan, betapa hancurnya atau buruknya tata kehidupan bangsa tersebut. Dan permasalahan pada bangsa kita hari ini adalah adanya banyak Tuan, maka siapakah yang harus benar-benar ditaati yang mempunyai sabda tunggal?? Tidak ada. Tidak ada pemimpin yang mempunyai wewenang tinggi di negeri ini. Ketika satu partai berkuasa, dipastikan partai lain akan bertindak sebagai oposisi, yang bukan mendukung tetapi justru akan bertindak sebagai rival yang siap untuk menjatuhkan partai yang berkuasa tersebut. Itulah betapa buruknya suatu bangsa yang mempunyai banyak tuan.

Satunya Tuan (tidak ada Tuan-Tuan yang lain) akan memberikan dampak yang luar biasa, yakni kecintaan sepenuhnya kepada Tuan tersebut. Tidak ada kecintaan yang mendua. Kecintaan hanyalah satu, yakni kecintaan kepada satu-satunya Tuan, Tuan Semesta Alam. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan atau Tuan adalah gelar atau jabatan, bukan nama. Tuan mempunyai arti “yang dihormati, yang ditaati, dan yang dicintai”. Berbicara Tuhan, tidak mempermasalahkan penyebutan namanya, apakah itu Alloh, atau Yahweh, atau Gusti, atau Pengeran, atau, Sang Hyang Widi, atau Karaeng, semuanya tertuju pada satu pribadi, yakni Dia-lah yang menciptakan, yang mengatur, yang menguasai, dan satu-satunya yang ditaati.

Bangsa yang memiliki Falsafah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Bangsa yang memiliki keyakinan mendasar bahwa tidak ada Tuan yang lain selain Tuan Semesta Alam dengan dibuktikan kecintaan yang begitu besar dengan mengejawantahkan sifat dan karakternya untuk ditransendensikan ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sifat yang utama  dari Tuan Semesta Alam adalah Kasih dan Sayang, yang akan dijelaskan dalam sila ke-dua Pancasila.

Seperti tertuang dalam Kitab, dimana dijelaskan bahwa seluruh ajaran para nabi yang merupakan ajaran Tuan Semesta Alam terangkum dalam 2 hukum utama, yakni yang pertama adalah cinta kepada Tuan Semesta Alam dengan sepenuh hati, dan yang kedua adalah kasih sayang kepada sesama manusia.


Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Ketika manusia atau bangsa sudah membulatkan kecintaannya hanya kepada Tuan Semesta Alam, maka dia akan mengejawantahkan sifat atau karakter sejati dari Tuan Semesta Alam, yakni kasih dan sayang.

Perlu kita fahami dan renungi bahwa sesungguhnya manusia yang memiliki sifat kasih dan sayang sejati serta menebar kasih sayang kepada sesama manusia adalah manusia yang memiliki kecintaan kepada Tuan Semesta Alam yang begitu besar. Itulah manusia yang merefleksikan sifat-sifat Tuannya. Sama seperti rembulan di tengah malam, dia akan kelihatan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, begitu indahnya dan hangatnya sinar rembulan di malam hari.  Begitu pun manusia yang menebar kasih dan sayang kepada sesamanya karena memantulkan atau merefleksikan sifat kasih sayang Tuannya.

Dan inilah hukum kedua dari ajaran setiap para nabi, yakni kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengkasihi dirimu sendiri. Bahkan tidak hanya sebatas sesamamu saja, musuhmu sekalipun engkau tetap harus mengkasihinya. Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan dengan kebaikan, yakni dengan kasih dan sayang. Begitulah ajaran para nabi. Kalau membalas kebaikan dengan kebaikan adalah hal yang biasa, tetapi biasakah engkau membalas kejahatan dengan kebaikan? Karena itu yang luar biasa, manuasia yang luhur dan mulia.

Sila kedua ini mengajarkan kepada kita untuk menjadi manusia yang manusiawi yang memanusiakan manusia. Maksudnya adalah manusia yang memiliki sifat manusia yang seutuhnya, tidak hanya jasad (darah daging) nya saja yang manusia tetapi jiwa nya juga harus manusia. Manusia yang memiliki jiwa kemanusian, dia hidup untuk menghidupi, dengan demikian dia akan memperlakukan manusia lain seperti dirinya sendiri. Dan inilah yang disebut sebagai adil.

Adil adalah jika sesuatu ditempatkan sesuai dengan proporsinya dan tidak melanggar prinsip kesetimbangan. Aplikasi teknis dalam kehidupan adalah memperlakukan manusia lain seperti memperlakukan diri sendiri. Dan janganlah memperlakukan hal kepada orang lain ketika itu diterapkan kepada dirimu sendiri adalah sesuatu yang merugikan dan sangat kau benci. Janganlah menipu orang lain kalau engkau tidak mau ditipu, janganlah mencelakai orang lain kalau engkau tidak mau dicelakai, janganlah menfitnah orang lain kalau engkau tidak mau difitnah. Itulah adil, yakni memperlakukan orang lain sama seperti memperlakukan diri sendiri.

Sebelum memperlakukan manusia lain dengan adil, kita harus mampu berbuat adil terhadap diri sendiri. Ketika tidak mampu berbuat adil terhadap diri sendiri, dipastikan tidak akan mampu berbuat adil terhadap orang lain. Aplikasi sederhananya adalah jika melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, itu berarti tidak berbuat adil pada dirinya sendiri. Sebagai contoh adalah merokok yang dapat merusak kesehatan dirinya sendiri, menyebabkan kanker, merusak jantung, paru-paru, bahkan merusak generasi yang akan dia lahirkan kelak. Secara tidak sadar dia merusak tubuhnya sendiri, hal itu dilakukan hanya mengejar kenikmatan sesaat.

Manusia yang menebar kasih sayang antar sesama dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain, dipastikan manusia itu adalah manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Adab adalah budi pekerti, moral, tata krama, etika. Lawan dari beradab adalah biadab. Manusia yang biadab adalah manusia yang tidak bermoral, tidak mempunyai budi pekerti, manusia yang berbuat dzalim karena tidak adil pada dirinya dan orang lain, serta tidak mempunyai jiwa kasih maupun sayang.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa sila kedua yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mengajarkan kepada kita untuk mencintai sesama manusia sebagai cerminan dari kecintaan kita kepada Tuan Semesta Alam, dengan memberikan kasih dan sayang sejati tanpa pamrih apapun, demi kelangsungan kehidupan (give and give).

Persatuan Indonesia

Ketika kasih sayang antar sesama manusia sudah terwujud dan menjadi prilaku hidup atau karakter setiap invidu dalam suatu bangsa, maka bangsa itu akan dapat dipersatukan. Meskipun bangsa tersebut terdiri dari berbagai suku, budaya, bahasa, tradisi atau adat istiadat, tetapi dengan kekuatan cinta dan kasih sayang akan meleburkan semua perbedaan, dan bahkan perbedaan merupakan anugerah yang harus dirangkul menjadi kekuatan.

Ketika tiap individu dalam bangsa ini tidak mempunyai jiwa kasih dan jiwa sayang, tidak memiliki jiwa kemanusiaan, luntur semangat saling mencintai antar sesama, dipastikan bangsa ini sudah mudah sekali diceraiberaikan dan sulit untuk dipersatukan.

Satunya visi dan misi serta aksi dalam membangun mahligai bangsa tidak bisa dilepas dari ikatan kasih sayang dan persaudaraan antar sesama. Jika satu sama lain sudah menganggap sebagai musuh dan ancaman bagi diri dan kelompoknya, sangat mustahil untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa.

Contoh sederhananya adalah rumah tangga yang harmonis dan penuh kasih sayang tidaklah mungkin akan bercerai, rumah tangga tersebut akan kuat dan bersatu, yakni bersatu dalam visi, misi, dan aksi. Sebaliknya suatu bangunan rumah tangga akan mudah diceraiberaikan, dihancurkan, sangat lemah ikatan antara suami istri dan anak, manakala tidak ada harmonisasi dan rasa kasih sayang didalamnya.Itu adalah rumus, yang mampu mempersatukan adalah spirit kasih sayang, spirit persaudaraan, dan spirit kebersamaan.

Ketika sila pertama dan sila kedua pancasila tergenapi, maka akan timbul semangat cinta tanah air, meskipun berangkat dari latar belakang suku, budaya, bahasa, tradisi adat istiadat yang berbeda-beda, tetapi karena mereka hidup di negeri nusantara ini, makan di negeri nusantara ini, minum dan menghirup oksigen pun di negeri  nusantara ini, dari semenjak dikandung badan, dilahirkan, dibesarkan, bahkan mati pun di negeri nusantara ini. Mereka akan mencintai tanah airnya dengan sepenuh hatinya ketika mereka dipersatukan dalam ikatan kasih persaudaraan dan kebersamaan. Tidak hanya semangat nasionalime yang timbul, semangat patriotisme atau berkorban untuk tanah air akan menggelora pada setiap individu bangsa ini.Ketika bangsa ini dibangkitkan kembali dengan nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya, yang mempunyai ciri khas dan memiliki kesamaan tujuan hidup, maka seluruh komponen atau elemen bangsa ini akan bersatu padu dalam barisan untuk bangkit kembali dengan jati dirinya yang asli. Dan dipastikan bangsa ini akan menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.




Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
   
Setelah bangsa ini bersatu dalam satu ikatan kasih persaudaraan dan kebersamaan, maka rakyat akan siap dipimpin. Tidaklah mungkin rakyat bersedia dipimpin kalau tidak ada persatuan dan kesatuan antara rakyat dengan pemimpinnya, antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, antara satu suku dengan suku yang lain. Prinsip persatuan dan kesatuan menjadi sangat penting agar fungsi kepemimpinan berjalan dengan efektif.

Rakyat harus dipimpin, rakyat tidak boleh dibiarkan berkuasa sebagaimana prinsip dalam sistem demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Demokrasi dapat dikatakan sebagai "pemerintahan daribawah", "pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat", "pemerintahan: dari rakyat, oleh rakyat, untu krakyat" atau "pemerintahanoleh banyak orang". Jadi, yang dimaksud "dari bawah" adalah bahwa rakyat, yang dalam hal ini sebagian besar atau mayoritas, mempunyai suara untuk ikut menentukan serta mempengaruhi proses perumusan kebijakan pemerintah, melalui saluran-saluran yang disediakan untuk itu pada peringkat infrastruktur politik. Contohnya, melalui: partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan (pendesak) dan melalui media massa serta pendapat umum .

Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan kebebasan individu, akan memberikan dampak bahwa setiap orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai konflik dan kerusuhan yang disebabkan oleh berbagai tindak kekerasan, ketidaktertiban, kekacauan, perlakuan tidak bermoral, dan ini merupakan ancaman dan bencana bagi negara.

Rakyat memang harus dipimpin, oleh apa? Oleh hikmat kebijaksanaan. Kepemimpinan yang dijalankan dengan hikmat dan bijaksana sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan (prinsip sila pertama dan sila kedua). Kepemimpinan tidak boleh melanggar hikmat kebijaksanaan, dan itulah kebenaran universal.

Sistem kebenaran hidup universal mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat, tetapi tidak boleh melakukan voting untuk satu keputusan. Rakyat mempunyai wadah untuk aspirasi, tetapi fungsinya tidak seperti legislatif sekarang yang sejajar dengan eksekutif pemerintahan, dan bahkan keberadaan legislatif sekarang menjadi rival bagi eksekutif yang ada. Dan itulah betapa tidak sehatnya sitem demokrasi.

Sistem pemilihan kepala negara tidak bisa dilakukan lewat pemilihan umum yang merupakan icon utama dalam demokrasi. Karena “suara rakyat langsung” tidak akan pernah menjadi parameter untuk menentukan pemimpin yang tepat. Maka prinsip yang benar yang sesuai dengan sila ke-empat dalam pemilihan kepala negara adalah melalui dewan atau lembaga permusyawaratan perwakilan itu sendiri dengan prinsip musyawarah mufakat.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Ketika kepemimpinan berjalan dengan hikmat dan bijaksana, sesuai dengan prinsip kebenaran universal, pemimpinnya bertindak untuk melayani dengan sepenuh cinta dan kasih sayang, dan rakyatnya taat kepada pemimpinnya, maka akan terwujud keadilan sosial.

Keadilan mempunyai arti bahwa tidak ada seseorangpun yang didzalimi hak-haknya sebagai warga negara, mendapat perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan. Kondisi yang demikian inilah yang diharapkan oleh seluruh rakyat indonesia, tatanan kehidupan yang akan menuju kepada kedamaian dan kesejahteraan.

Mengapa suatu bangsa tidak tercipta kondisi kehidupan yang damai dan sejahtera? Jawabannya sederhana, karena tidak ada keadilan di dalamnya. Jadi keadilan adalah syarat utama untuk menghantarkan kondisi kehidupan yang damai dan sejahtera.

Keadilan yang merata akan membawa kehidupan Nusantara ini seperti yang disebutkan dalam jangka jayabaya “gemah ripah harja kreta, tata tentrem ing salami-lami, ilang kang samya laku dur,  murah sandang lan boga, kang hamngkuasih mring kawulanipun, lumintu salining dana, sahasta pejeg saripis” (kemakmuran melimpah ruah, langgeng, tertib tentrem selamanya, hilanglah kedurjanaan, murah sandang pangan, pemimpin yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang kepada rakyatnya, tidak pernah kekurangan uang, ibaratnya tanah satu hektar pajaknya satu rupiah).